A Miracle of Hana: Nyanyian Baru
Nyanyian Baru *1
“Hei Ga...”
Teriak Rafa saat menhampiri dan langsung menepuk pundah kanan Yoga.
Yoga
sontak langsung terkejut dan mengusap-usap dadanya. Rasanya denyut nadinya
sudah tidak dapat diatur lagi. Sepertinya sudah melebihi batas normal denyut
nadi per detik.
“Bagaimana liburanmu
di Jakarta? Menaarik?”
Tegur Rafa yang sedikit mengganggu konsentrasi Yoga. Jelas saja mengganggu,
karena Rafa datang disaat Yoga sedang membaca komik Naruto kesukaannya.
“Ah! Kamu
ini membuat jantungku hampir lepas.” Sesaat Yoga mengatur napasnya.
“Maaf
mungkin aku sengaja.” Rafa tertawa setelah melihat Yoga tiba-tiba berubah pucat
setelah ia kagetkan. “Ayo jawab pertanyaanku! Bagaimana liburanmu di Jakarta?”
“Tidak ada yang istimewa di Jakarta.” Yoga menjawab dengan wajah acuh tak acuh. Mungkin
dengan rasa sedikit kesal karena perbuatan Rafa padanya.
“Loh, bukannya kamu senang di sana? Di sana kan ibu kota?” Dengan heran Rafa kembali
menjejali Yoga dengan pertanyaan. Namun, Yoga tetap saja memasang wajah datar.
“Lebih menyenangkan di sini, di sana panas dan membosankan. Tiap hari sealu macet.” Jawab Yoga dengan
tetap menyatukan pandangannya pada komik yang sedang ia baca.
“Masa sih? Bukannya di sana dan di sini sama saja?”
Kali ini
Yoga benar-benar tidak ingin menjawab pertanyaan sahabatnya itu. Sekarang masih
pukul tujuh pagi. Matanya masih sedikit sulit untuk dibuka. Tapi Rafa terus
saja menagih jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang ia pikir tidak terlalu
penting untuk ditanyakan. Karena sudah jelas kota Sumenep lebih terteram
daripada kota Jakarta yang merupakan kota metropolitan terbesar sekaligus ibu
kota Indonesia.
Kota
Sumenep adalah kota sekaligus kabupaten paling timur di pulau Madura. Udara
yang sesekali sejuk, tetapi tidak jarang juga bisa sepanas kota Jakarta memang
memiliki kesan tersendiri bagi seorang Yoga. Karena di sinilah Yoga mengerti
bagaimana menghargai hidup dengan selalu mencintai kampung halaman tempat dia
dilahirkan ke dunia.
Yoga dan Rafa
memang sudah bersahabat sejak dua tahun lalu saat mereka masih berada di ruang
kelas tingkat satu yang sama. Dan kebetulan ternyata mereka harus menempati ruang kelas tingkat tiga yang sama. Entah mengapa mereka selalu dipertemukan dalam
ruang kelas yang sama.
Tidak
seberapa lama, pandangan Yoga berpaling dari komiknya menuju dua orang gadis
yang baru saja memasuki ruang kelas. Dia menatap pancaran aura kebaikan dari
ujung rambut hingga ujung kaki salah satu gadis itu. Sampai tak sadar, ternyata
pandangannya sudah tak dapat dipalingkan lagi ke keadaan semula.
“Cong*” Yoga menepuk badan Rafa sambil tetap
memandangi gadis yang ada di area pengelihatannya saat ini. “kamu melihat apa
yang aku lihat tidak? Ada bidadari turun dari langit.”
Gadis
berbadan sedikit kurus, berkulit putih, dan memakai kacamata itu sudah menyihir
Yoga setelah disadari bahwa dia memiliki keistiwaan. Gadis itu memakai kerudung
untuk menutupi mahkota kepalanya yang merupakan salah satu aurat seorang
wanita. Namun, anehnya meski Rafa hanya melihat gadis itu sebelah mata, dia
langsung bangun dari tempat duduknya dan menghampiri gadis yang baru saja
menghipnotis Yoga.
***
Sesampainya
di sekolah, Ran dan Tata langsung melangkah menuju ruang kelas yang sudah
seharusnya mereka tempati. Kedua sahabat itu memang baru pindah dari sekolah
lamanya. Jadi wajar jika mereka masih belum mengenal semua warga sekolah
menengah atas terfavorit di kota ini. Kecuali Ran yang mengenal seorang siswa
karena dia adalah teman sekolah dasarnya. Dan yang paling mengejutkan ternyata
lelaki yang sedang dibicarakan tepat berada di hadapan Ran saat dia melangkah
memasuki ruang kelas.
“Rafa. ini kamu?” Sapaan
pertama Ran pada Rafa teman lamanya.
“Kenapa
memandangi aku seperti itu? Kangen ya?” Rafa menjawab sapaan Ran dengan tawa
meskipun sedikit membosankan.
Dari bangku
tengah deretan kedua di sebelah pintu masuk kelas, terlihat seseorang yang
tampaknya begitu tercengang melihat keakraban Rafa dan Ran. Seolah-olah
tidak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya saat ini.
“Oh iya Fa, ini Tata.” Ran menoleh pada gadis yang bersamanya dilanjutkan dengan memperkenalkan
Rafa pada Tata. “Dan Ta, dia Rafa temanku sewaktu di sekolah dasar.”
Tata dan
Rafa pun berjabatan tangan sambil memperkenalkan nama mereka
masing-masing. Tata
Silvana yang mempunyai berat dan tinggi badan yang ideal itu adalah sahabat
Ranita Miyazaki, gadis yang berdarah Madura-Jepang.
“Ran, Ta, dia sahabatku. Yoga namanya.” Papar Rafa sambil menunjuk arah sahabatnya
yang masih memasang wajah penasaran, mengapa Rafa terlihat begitu akrab dengan
gadis yang dianggapnya sebagai bidadari itu.
“Sebentar Ran. Aku ke tempat Yoga dulu. Sepertinya dia sedang melamun.” Rafa pun meninggalkan
Ran.
Ran
mencari bangku yang masih kosong untuk ditempati. Setelah duduk, matanya
memandangi Rafa yang sedang membangunkan temannya dari lamunan. Kejadian itu
terlihat seperti drama kocak yang membuat Ran tersenyum sekilas. Sepertinya Rafa menngenalkan diri Ran pada
Yoga. Rafa juga seakan sedang asyik menjelaskan hubungan dirinya dengan Ran.
Ran
memilih bangku paling depan, tepat di depan bangku pengajar. Ran memang sengaja
memilih bangku itu karena dia pikir akan lebih mengerti penjelasan guru. Kalau
duduk di bangku paling belakang pasti konsentrasinya terpecah menjadi dua. Namun,
ketika Ran baru saja akan menduduki bangku yang dia pilih, ada seorang
perempuan yang memakinya.
“Maaf,
mbak siapa ya? Saya sudah dari tadi duduk di tempat ini. Dan saya tau tempat
ini tadinya masih kosong.” Jawab Ran dengan wajah polos. Jawab dengan polos
karena memang kenyataannya Ran tidak merasa bersalah.
“Kelihatannya
saja kan kosong? Tapi apa kamu tahu, kalau tempat ini sudah jauh-jauh hari di
siapkan oleh pihak sekolah untukku.”
Melihat
sahabatnya yang dimaki tanpa alasan yang jelas, Tata harus membela sahabatnya
itu. “Masalahnya apa sih mbak? Memang tadi bangku ini kosong kok.”
Perdebatan
memperebutkan bangku terus memanjang. Sampai bel masuk sudah mengudara pun
mereka tidak menyadarinya. Semua anggota kelas hanya bias menonton dari jauh
saja, tetapi tidak termasuk Yoga yang mati-matian membela Ran.
“Sudahlah
Isa! Kamu mengalah saja. Dia siswi baru di sekolah ini. Masa kamu tidak bias
mengalah?” Bela Yoga.
“Oh jadi
mentang-mentang kamu baru mengenal dia dan dia adalah siswi baru di sekolah ini
lalu kamu melupakn aku? Atau kamu memang amnesia? Kamu lupa kalau aku ini
adalah pacar kamu? Jangan seenaknya saja dong Yoga! Masa kamu lebih memlih dia
daripada aku?” protes Isa.
jadi perempuan ini bernama Isa dan dia adalah
pacar Yoga? Tapi kenapa Yoga lebih membela aku? Memangnya aku ini siapa?
Perempuan
menyebalkan yang sedang memaki Ran bernama Isawati. Dia memang salah satu siswi
menyebalkan di sekolah ini. Meskipun dia berkerudung, tetapi hatinya licik. Banyak
orang yang tertipu dengan kata-katanya. Termasuk Yoga. dulu mereka menjalin
hubungan hanya karena Yoga merasa kasihan melihat Isa yang seorang anak yatim. Namun,
selebihnya tidak ada perasaan cinta sedikitpun dari Yoga untuk Isa.
“Aku lebih
membela Ran karena memang jelas dia tidak bersalah.” Lanjut Yoga.
“Jadi…”
jawab Isa. Namun, belum sempat terselesaikan, pelajaran sudah harus
segera dimulai.
Seorang guru muda tampan memasuki kelas. Satu buku dengan tebal sekitar
lima senti meter dibawa dengan tangan kanan. Seperti guru pada umumnya. Sampai
di kelas, berjalan menuju bangku pengajar, dan meletakkan buku di atas meja. Biasanya
langsung memulai pelajaran. Namu, karena melihat kondisi kelas yang berantakan,
guru itupun langsung berpikir, apa yang
sudah terjadi di kelas ini?
“Selamat pagi semua…” sapa guru muda itu
Semua
siswa menjawab, “pagi pak…”
“Ada apa
ini? Kok sepertinya baru terjadi hal yang tidak mengenakkan?” Tanya guru muda
itu.
“Begini
pak. Bangku saya ditempati oleh perempuan ini.” Jelas Isa.
“Tidak
pak. Saya tidak menempati bangku dia. Tadi bangkunya kosong, pak. Jadi saya
tempati. Kalau bangku ini memang ada pemiliknya, saya tidak akan menempatinya. Tapi
tadi bangku ini benar-benar kosong.” Papar Ran.
“Halah. Sudah
tidak usah basa basi. Mengaku sajalah!” bentak Isa.
“Sudah. Sudah.”
Teriak guru muda itu. “ kalian kan bias saling mengalah. Masi banyak kan kursi
yang kosong.”
“Tapi saya
mau di sini pak!” Isa mulai memaksa.
“Baiklah
kalau kamu maunya begitu. kamu duduk di bangku itu.” Kata guru itu pada Isa.
Isa merasa
senang mendengar keputusan guru yang memiliki wajah yang tidak terlalu menua
itu.
“Dan saya
harap, kamu mau mengalah untuk duduk di bangku lain.” Kata guru itu pada Ran.
Ran hanya bisa
mematuhi kata guru yang baru dia kenal itu. Ran dan Tata lalu berdiri dengan
membawa barang mereka dan keluar dari bangku yang menjadi perdebatan itu.
Sedangkan Isa langsung duduk di bangku itu sambil sedikit mencela Ran.
“Baiklah. Begini
saja. Kamu duduk sabangku dengan Yoga!” suruh guru itu pada Ran. “Dan kamu, duduk
sebangku dengan Rafa di bangku belakang yang masih kosong!” Suruh guru itu pada
Tata.
Ran
sekilas melihat kerah Yoga yang berdiri di dekatnya dengan wajah yang mulai
memerah. Entah karena malu atau senang.
“Loh pak. Kenapa
jadi dia yang duduk sama Yoga?” protes Isa dengan wajah marah.
“Sudah
tidak perlu protes! Ini kan kemauanmu?” bentak guru itu pada Isa. “Baik,
sekarang kalian kembali ke tempat duduk kalian masing-masing!”
Yoga, Ran,
Rafa, dan Tata kembali ke tempat duduk yang sudah di atur oleh guru muda itu.
setelah mereka semua duduk dengan rapi, tanpa basa basi yang cukup panjang
siswanya langsung diperintahkan untuk membuka buku. Dan itu membuat semua
anggota kelas tidak nyaman. Belum memperkenalkan diri pula. Terpaksa harus ada
perwakilan siswa yang memberanikan diri untuk menanyakan siapa nama guru itu.
Diawali
dengan mengacungkan telunjuk kanannya, Tata memberanikan diri untuk mengajukan
pertanyaan, “Pak sebelumnya, mungkin bapak berkenan untuk memperkenalkan diri
pada kami?”
Mendengar
perkataan Tata yang begitu spontan menarik perhatian seluruh penghuni ruang
kelas, guru itu tersenyum seolah-olah di telah melupakan sesuatu yang penting. “Maaf
terlewatkan. Kalian bisa memanggil saya pak Dion.”
Baiklah. Namanya
pak Dion. Beliau mengajar pelajaran bahasa Indonesia di kelas ini. Memang
wajahnya bisa amembius siswi yang diajarnya. Tapi semua belum bisa memastikan
bahwa sikap dan caranya mengajarnya setara dengan ketampanan raut wajahnya.
Mendengar
pernyataan tersebut, penghuni kelas rasanya sudah puas. Tapi tidak bagi Yoga
yang lagi-lagi melamun sambil memandang Ran. Kali ini dia membayangkan dirinya
tengah asyik berjalan kaki menelusuri taman kota. Dia menggenggam tangan Ran.
Seolah-olah Ran adalah miliknya dan hanya tercipta untuknya.
“Karena kalian sudah mengenal saya, sekarang giliran
kalian yang memperkenalkan diri.” Pak Dion pun menunjuk ke arah Ran. “Perkenalkan
namamu! Sepertinya kamu
siswi baru di sekolah ini.”
Jurus jitu
Yoga pun terfokus untuk menatap wajah perempuan yang sekarang duduk tepat
disebelahnya. Dia menatap apapun yang bisa ia tatap. Dari ujung rambut, hingga
ujung kaki. Dari kedipan mata, hingga katupan bibir. Sungguh sempurna di
matanya.
“Siapa pak? Saya?” Ran menjawab
“Iya. Perkenalkan namamu!”
“Nama saya
Ran, pak. Saya memang siswi baru di sekolah ini.”
“Oh pantas
saja saya belum pernah melihat kamu di sekolah ini. Tidak seperti yang lain,
karena sebelumnya saya sudah pernah mengajar teman-teman sekelasmu ini di
tingkat satu.”
Ran hanya
mengangguk.
“Ya
sudah. Sekarang, buka buku kalian semua! Halaman pertama!” perintah pak Dion.
“Nama kamu
Ran?” Yoga bertanya dengan suara sedikit serak.
“Ya namaku
Ran.” Ran menjawab dengan senyuman. “Mm.. ngomong-ngomong, terima kasih ya. Karena
kamu sudah membela aku. Meski sebenarnya aku tidak mengerti, mengapa kamu
membela aku. Padahal Isa adalah kekasihmu.”
“Sudah lah
tidak perlu di pikirkan. Aku senang kok bisa mengenalmu apalgi membelamu. Bukan
hanya membela, aku juga mau menjadi sahabatmu dan selau bersedia membuatmu
tersenyum.” Yoga juga tersenyum.
Ya Allah, apakah ini anugerah dariMu? Baru
pertama aku mengenal laki-laki seperti dia yang langsung memperhatikan aku
seolah-olah dia sudah mengenal aku sejak lama. Semoga ini adalah awal yang baik
untukku menimba ilmu di sekolah ini.
0 komentar